View Single Post
Old 13-08-2009, 08:32 AM   #11
rondwisan
moderator
 
rondwisan's Avatar
 
Join Date: Jun 2009
Location: Soe Rock Bo Yo - Nga Lam vv
Posts: 35,048
Thanks: 1,500
Thanked 4,736 Times in 2,701 Posts
Mentioned: 567 Post(s)
rondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond reputerondwisan has a reputation beyond repute
Visit rondwisan's Facebook Visit rondwisan's Twitter
Default Lost in Space Clubs :-(

mindahin dari rumah lama yaa ....
____________________________________________

JaPos - 26 Mei 2008
Klub Mantan Jawara Eropa yang Hilang dari Peredaran



Tertindas Kapitalisme, Terbelenggu Utang
Mereka pernah mereguk kejayaan di belantika sepak bola Eropa. Tapi, kini nama besar mereka luntur. Apa penyebabnya?

THE REDS sebenarnya bukan julukan yang eksklusif untuk Liverpool. Ada klub lain di Inggris yang juga memiliki sebutan serupa, yaitu Nottingham Forest. Forest tak perlu minder mengklaim sebutan itu. Sebab, secara prestasi, mereka memang tak kalah dari Liverpool.

Seperti Liverpool, mereka pernah dua kali juara Piala Champions (kini Liga Champions, Red) beruntun, tepatnya pada 1979 dan 1980, setelah sejak 1977 menguasai Liga Inggris. Tapi sayang, semua itu hanya cerita lalu.

Pada musim 2004/2005, klub berumur 143 tahun itu terlempar ke League One, kasta ketiga di struktur Liga Inggris. Mungkin itu adalah tragedi terbesar yang pernah menimpa sebuah klub mantan jawara Eropa. Baru di akhir musim 2007/2008, tim berkostum kebesaran merah tersebut bisa promosi ke League Championship.



Nasib serupa dialami Leeds United. Setelah mengejutkan Benua Biru ketika menembus semifinal Liga Champions 2000/2001, The Whites (julukan Leeds United) terdegradasi dari Premier League dua musim kemudian. "Kami terdegradasi karena gagal menyeimbangkan neraca keuangan klub," kata Peter Risdale, chairman Leeds kala itu, di situs resmi fans klub.

Dampaknya, beberapa pemain bintang, seperti Mark Viduka, Paul Robinson, Ian Harte, hingga Alan Smith, harus dilego. Sebab, kontrak para pemain tersebut membubung tinggi setelah prestasi di Eropa.

Catatan kelabu terdegradasinya Forest dan Leeds di sepak bola Inggris ikut menular ke Italia. Nasib apes itu menimpa Parma. Juara dua kali Piala UEFA dan pernah masuk dalam seven magnificent di Liga Italia tersebut harus turun kasta, dari Serie A ke Serie B, musim depan.

Dengan materi pemain yang sebenarnya tidak jelek-jelek amat, Parma terdampar di peringkat ke-19 di antara 20 tim musim ini. Artinya, inilah kali pertama dalam 18 tahun terakhir, Parma kembali ke Serie B. Atau, sejak pelatih Nevio Scala membawa Gialloblu (julukan Parma) kali pertama promosi ke Serie A pada 27 Mei 1990. Musim sebelumnya, Parma sejatinya juga sudah ada di ambang degradasi sebelum akhirnya terselamatkan karena kehadiran pelatih berpengalaman Claudio Ranieri.

Terdegradasinya Parma terjadi justru pada saat klub asal kawasan utara Italia, tepatnya Emilia Ramagna, itu memiliki pemilik baru. Pada 24 Januari 2007, Tommaso Ghirardi diumumkan sebagai owner baru Parma berdasar lelang. Lelang diadakan karena Parma sempat limbung saat diguncang skandal keuangan dari sponsor utama mereka, Parmalat, pada musim 2003/2004.

Beruntung, Lorenzo Sanz, presiden Real Madrid kala itu, menolong Parma dari kondisi kolaps. Pada 2005, Sanz merevolusi Parma menjadi klub bermarket global. Tapi, setelah Sanz tak lagi menjabat presiden Real, Parma butuh pemilik baru hingga terpilihlah Ghirardi.

Namun, di tangan Ghirardi, Parma justru terkapar. Maklum, pengusaha yang baru berusia 31 tahun tersebut masih hijau dalam menangani klub sepak bola. Sekalipun Ghirardi adalah pemilik klub Serie C2 Carpenedolo, mengelola klub besar seperti Parma sungguh berbeda.

"Hasil buruk kami adalah kegagalan saya. Selain prestasi yang buruk, keuangan kami macet. Inilah dampak penindasan kapitalisme di sepak bola," aku Ghirardi setelah kekalahan Parma 0-2 dari Inter Milan di giornata (pekan) ke-38, 18 Mei lalu, kepada Football Italia.

Beralih ke Jerman dan Spanyol, ada Borussia Dortmund dan Deportivo La Coruna yang mengalami nasib yang sama dengan koleganya di Inggris dan Italia. Dortmund, si juara Liga Champions 1997, kini kembang kempis dihajar utang. Begitu pula Deportivo. Pernah merajai Liga Primera di awal 2000-an, tim yang bergelar Super Depor itu cukup konsisten di kisaran papan atas hingga akhirnya limbung pada 2004/2005. Gara-gara mengejar prestasi di Eropa (Liga Champions), kas keuangan mereka menipis.

Depor tak bisa berharap dari penjualan pemain karena mereka baru melakukan hal itu saat prestasi mereka melorot. Otomatis harga jual para pemain bintang mereka pun anjlok.

"Seandainya dilepas empat tahun lalu, mungkin saya bisa membantu meringankan keuangan klub," kata Diego Tristan, mantan bintang penyerang Deportivo La Coruna yang kini membela Livorno, dalam sesi wawancara dengan El Mundo pada 2006. Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat.
rondwisan is offline   Reply With Quote